Rabu, 24 Februari 2010

Harapanku

Hijab untuk seluruh muslimah
HUKUM HIJAB, PANDANGAN DAN PERIZINAN

Persoalan ini saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya sebagaimana yang sudah diketahui, untuk itu saya bahas dalam satu rangkaian, tidakkah anda melihat bahwa Alloh telah mengumpulkan semua pembahasan itu dalam firmannya:“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian memasuki rumah selain rumah kalian sehingga kalian meminta izin dan mengucapkan salam kepada pemiliknya”. Kemudian Alloh juga berfirman: “Katakanlah kepada orang-orang mukmin hendaknya mereka menundukkan pandangan mata mereka”. Dan firman Alloh Swt:“Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminat hendaknya mereka menundukkan pandangan mata mereka”.
Ini dalam masalah hukum pandangan.

Kemudian firman Alloh Swt: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang nampak darinya dan mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya”.
Ini dalam masalah hukum berhijab.

Alloh telah menyebutkan ayat-ayat ini secara berurutan dalam surat An Nuur : 27-31, kemudian Alloh Swt menyebutkan tentang perizinan kepada orang yang berada di dalam rumah dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah (laki-laki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh diantara kalian meminta izin kepadamu pada tiga waktu (dalam satu hari)- hingga firmannya – itulah tiga aurat bagi kalian – hingga firmannya- dan apabila anak-anakmu telah sampai pada umur baligh maka hendaknya mereka meminta izin seperti orang-orang sebelum mereka meminta izin” (QS. An-Nuur : 58-59). Rasululloh Saw bersabda: “Sesungguhnya dijadikannya ada izin itu adalah disebabkan pandangan” (HR. Al Bukhari hadits no. 6241).

Maka dengan hal ini jelaslah bahwa perizinan dibuat (disyareatkan) sehingga tidak tersingkap aurat, untuk itu pula disyareatkan hukum-hukum pandangan, sebagaimana juga disyareatkan untuk menjaga aurat. Maka tiga hal ini (hukum hijab, pandangan dan perizinan) merupakan apa-apa yang disyareatkan Alloh untuk menjaga aurat dan yang mengiringinya berupa keselamatan kehormatan dan kesucian jiwa (hati). Hal ini tidak mesti makna hijab dibatasi hanya tentang menutup badan saja, akan tetapi harus memahaminya dengan artinya yang sangat luas yang mencangkup hal-hal sebagai berikut :
1. Seorang perempuan menutup badannya (dirinya) dari orang-orang asing, inilah makna yang luas tentang hijab, dan inilah yang disebutkan di dalam firman Alloh Swt: “Dan janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali apa-apa yang nempak padanya dan hendaknya mereka menutup kain kerudung diatas dada-dada mereka” (QS. An Nuur : 31). Dan firman Alloh Swt : “Wahai Nabi : katakanlah kepada istri-istri dan anak-anakmu serta para wanita mukmin hendaknya mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal” (QS. Al ahzaab : 59).
2. Seorang perempuan membatasi diri dari bercampur dengan laki-laki asing baik dirumahnya maupun di luar rumah. Itulah yang disebutkan dalam firmannya : “Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi) maka mintalah dari belakang tabir, hal itu lebih suci bagimu dan bagi mereka” (Al Ahzaab : 53).
3. Seorang perempuan membatasi diri dirumahnya dan tidak keluar darinya tanpa ada kebutuhan atau dharurat (hal yang mendesak), sehingga Rasululloh menjadikan shalat perempuan dirumahnya lebih baik daripada shalatnya di masjid. Alloh Swt berfirman : “Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah dahulu, dirikanlah shalat tunaikanlah zakat dan taatilah Alloh dan Rasul-Nya, sesungguhnya Alloh bermaksud menghilangkan dosa darimu wahai ahlul bait dan membersihkanmu sebersih-bersihnya” (Al Ahzaab : 33).Ayat ini menunjukkan bahwa tinggalnya seorang perempuan di rumahnya termasuk sebab kesucian hati dan kehormatannya serta menghilangkan dosa darinya.
Inilah makna yang luas tetang hijab sebagaimana yang harus dipahami, ini semua untuk mencegah dari terjerumus ke dalam fitnah, karena Rasululloh Saw bersabda : “Tidaklah aku meninggalkan fitnah setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita” (HR. Muttafaqun Alaihi). Dan saya sebutkan di bawah ini rujukan-rujukan yang penting dalam mempelajari ketiga pembahasan ini, sebagai berikut :

Pertama : Hukum-hukum perizinan :
Pelajarilah dari kitab-kitab dibawah ini :
1.Tafsir ayat-ayat isti’dzan ( perizinan) disurat An Nuur : yaitu firman Alloh Swt : “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memasuki rumah selain rumah kalian hingga kamu meminta izin”. Dan dua ayat setelahnya. Dan firman Alloh Swt : “Wahai orang-orang yang beriman hendaknya lelaki dan wanita yang kamu miliki meminta izin”… dan ayat setelahnya. Disana ada ayat lain yang menerangkan tentang perizinan dalam surat An Nuur, akan tetapi ayat tersebut tidak khusus membahas tentang perizinan yang berkaitan dengan hijab dan pandangan akan tetapi berkaitan dengan ketaatan kepada pemimpin-pemimpin dalam siyasah syar’iyah (sistem kepemerintahan sesuai dengan syareat islam), yaitu firman Alloh Swt : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang beriman kepada Alloh dan Rasulnya dan apabila mereka berada bersama Rasululloh dalam suatu urusan yang memerlukan pertemuan mereka tidak meninggalkannya sebelum meminta izin darinya” (QS. An Nuur : 62). Dan mempelajari tafsirnya adalah dari tafsir Ibnu Katsir, Al Qurthubi dan Adlwaa-ul Bayaan.
2. Tafsir ayat perizinan dalam surat Al Ahzaab, yaitu firman Alloh Swt : “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan” (QS. Al Ahzaab : 53). Pelajarilah dari tafsir-tafsir diatas.
3. Mempelajari kitab (Al Isti’dzaan) dalam Shahih Al Bukhari dengan syarhnya (penjelasannya) dari buku (Fat-hul Baari XI/3-95).
4. Kitab (Al Adabusy Syar’iyyah) karangan Ibnul Muflih Al Hambali, pasal khusus dalam hukum-hukum isti’dzaan I/393 dan selanjutnya.

Kedua : Hukum-hukum hijab wanita.
Yang dimaksud disini adalah hijab yang berarti luas yaitu seorang perempuan menutup badannya, sedangkan makna-makna lain telah disebutkan sebelumnya.Dan ciri-ciri pakaian yang wajib bagi wanita adalah sebagai berikut : hendaknya panjang dan dapat menutup seluruh badan dan hendaknya juga lebar dan luas, tidak membentuk badannya, juga hendaknya kainnya tebal, tidak tipis dan transparan, serta tidak ada hiasan-hiasan pada kainnya, juga warna bajunya tidak mencolok, tidak menyerupai pakaian laki-laki dan tidak menyerupai pakaian orang kafir. Maka pakaian apapun bentuknya bila memenuhi syarat-syarat ini maka itu adalah pakaian yang syar’iy, berkenaan dengan itu disana ada bentuk-bentuk penampilan yang ada atsarnya (riwayatnya) dari para Shahabiyyah (Sahabat wanita) tentang pakaian wanita, dan beriltizam (berpegang teguh) dengan bentuk penampilan Shahabiyyah ini lebih baik daripada berpegang teguh dengan yang lainnya, karena adanya khabar (hadits) bagi wanita-wanita pada ummat ini anda dapatkan bentuk penampilan yang ada riwayatnya ini beserta dalil-dalilnya diatas dalam kitab-kitab tafsir pada pembahasan yang telah disebutkan diatas, sebagaiman juga dapat anda dapatkan di dalam kitab-kitab Al Libaas ( pakaian) di buku-buku sunnah.

Peringatan
Berkenaan dengan tutup wajah bagi wanita Al Albaani berpendapat dalam kitabnya (Hijaabul Mar’ah Al Muslimah) bahwa seorang wanita menutup wajahnya dengan hadirnya seorang laki-laki asing bukan merupakan hal yang wajib, pendapatnya ini adalah fitnah bagi orang-orang yang Alloh kehendaki mendapatkan fitnahnya, Alloh Swt berfirman : “Itu hanyalah cobaan bagimu, Engkau sesatkan dengan fitnah itu kepada siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau berikan petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki” (QS. Al A’raaf : 155).Dan firman Alloh : “Dan barang siapa yang dikehendaki oleh Alloh fitnahnya maka kamu tidak memiliki sesuatupun dari Alloh” (QS. Al Maa-idah : 41).Dan Al Albaani telah sampai pada pendapatnya ini dengan manhaj fiqihnya yang menyelisihi (cacat), yang telah saya singgung sebelumnya pada pembahasan khusus dalam mempelajari fiqih. Kecacatannya ada tiga hal :
1. Pengambilan dalilnya dengan apa yang tidak boleh dijadikan sebagai hujjah (dalil) dari hadits-hadits dhaif dan lemah dan kadang-kadang dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk merubahnya menjadi hadits yang kuat dengan syawahid (Hadits-hadits lain) untuk menaikkan kepada derajat yang bisa dijadikan hujjah (dalil).
2. Kesimpulannya dari dalil-dalil --- baik shahih maupun dlo’iif --- tidak menunujukkan keadaan dalil-dalil yang telah diketahui untuk mengambil kesimpulan dalam ushul fiqh.
3. Tidak memperhatikan kaedah-kaedah tarjiih (pengambilan dalil yang lebih kuat), baik berkenaan dengan tarjiih antara dalil-dalil yang saling bertentangan ataupun berkenaan dengan tarjiih diantara petunjuk-petunjuk nash, bahkan kadang-kadang menyebutkan dalil yang menguatkan pandangannya dan tidak menyinggung apa-apa yang bertentangan dengannya yang bisa jadi lebih kuat hujjahnya dan lebih jelas petunjuknya daripada apa yang dia ambil sebagai dalil.
Hal ini terjadi disetiap mukaddimah-mukaddimah yang telah dia sebutkan dalam mengarang kitabnya (Sifatus Shalatin Nabi) dan mengarang kitabnya (Tamaamul Minnah Fit Ta’liiqi ‘Ala Fiqhis Sunnah). Akan anda dapatkan dasar-dasar fiqihnya yang nyeleneh ketika anda membaca tulisan-tulisan dalam bantahan terhadapnya, seperti bantahan yang disebutkan tentang membuka (menyingkap) wajah, dan juga seperti bantahan Syaikh Ismail Al Anshari terhadapnya tentang pengharaman memakai emas yang melingkar bagi wanita. Sedangkan berkenaan dengan menutup wajah bagi wanita, disini yang harus diketahui oleh setiap muslim adalah bahwa seorang wanita menutup wajahnya dengan hadirnya seorang laki-laki yang asing adalah wajib, walaupun boleh disingkap wajahnya di beberapa tempat. Saya sebutkan disini beberapa dalil wajibnya menutup wajah dengan ringkas, diantaranya :
1. Jelasnya perintah yang terdapat di dalam firman Alloh Swt : “Dan hendaknya mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya” (QS. An Nuur : 31).Aisyah Ra berkata : “Allah merahmati wanita-wanita muhajirat (yang berhijrah) pada masa pertama ketika Alloh berfirman : “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya ke dadanya”,… mereka menyobek jaket-jaket mereka lalu menutupinya dengan kain itu. (HR. Al Bukhari secara muallaq hadits no. 4758).Dan Imam Ibnu Hajar berkata dalam penjelasannya menerangkan tentang ciri-ciri (Sifat-sifat) menutup wajah (perkataannya <> yaitu menutupi wajah-wajahnya, caranya adalah meletakkan kain penutup diatas kepalanya lalu menyelendangkannya dari samping kanan ke leher sebelah kiri atau yaitu bercadar, Al Farra’ berkata : “Pada masa jahiliyah para wanita membiarkan kain penutupnya menurun ke sisi belakang dan tersingkap kaki-kaki mereka lalu mereka diperintahkan untuk menutupinya, dan khimar (kerudung) bagi perempuan seperti imamah (surban) bagi laki-laki”). Fat-hul Baari XIII/490.Perkataan Al Farra’ (dan khimar bagi wanita seperti imamah bagi laki-laki) maksudnya adalah tutup yang diletakkan diatas kepalanya dan pada masa jahiliyyah mereka membiarkan turun ke bagian belakangnya, lalu diperintahkan untuk menutupinya dengan memakai cadar dan menutup wajahnya, yaitu dengan meletakkan ujungnya diatas dadanya supaya dapat menutup wajahnya, dan dadanya disini adalah, celah pakaian pada leher, di ambil dari kata Al jaubu : yaitu robekan dan potongan, dan fi’ilnya Jaaba-Yajuubu-Jauban, lihat tafsir (Fat-hul Qadiir oleh Asy Syaukani IV/23).Dan Asy Syanqithi berkata dengan memberi catatan terhadap hadits Aisyah diatas (Hadits shahih ini jelas bahwa wanita-wanita shahabiyah yang disebutkan di dalamnya memhami bahwa makna firman Alloh Swt : “Hendaknya mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya”,Menutut untuk menutup wajah-wajah mereka --- hingga perkataannya --- dengan ini terwujudlah keadilan : bahwa wanita menutup diri dari laki-laki dan menutup wajahnya dari mereka sudah merupakan ketetapan di dalam As Sunnah As Shahiihah sebagai penjelasan kitab Alloh Swt) (Adlwaa’ul Bayaan VI/594).Dan jika dia berkata (Sebagai penjelasan dari perintah yang jelas terdapat di dalam kitab Alloh Swt) maka itu lebih baik. Ini adalah dalil yang pertama.
2. Jelasnya perintah di dalam firmannya : “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istri dan anak-anakmu serta wanita-wanita mukminah hendaknya mereka menjulurkan jilbabnya keseluruh tubuhnya” (QS. Al Ahzaab : 59). Dan kata al jalaabib jama’ dari kata jilbaab, Al Qurthubi berkata : (“Yang benar adalah pakaian yang menutup seluruh badan”. Dan dalam Shahih Muslim dari Ummu Athiyyah aku berkata : Wahai Rasululloh, salah satu dari kami tidak memiliki jilbab! Rasul menjawab : hendaknya memakai jilbab saudarinya. Orang-orang berbeda pendapat tentang membiarkannya menjulur, Ibnu Abbaas dan Ubaidah As Salmaani berkata : yaitu seorang perempuan melingkarkannya diatas keningnya dan mengencangkannya kemudian membelokkannya diatas hidung, walaupun terlihat kedua matanya akan tetapi menutupi dada dan sebagian besar wajahnya. Al Hasan berkata : menutupi setengah wajahnya). (Tafsir Al Qurthubi XIV/243). Ibnu Katsir berkata --- dalam ayat ini --- (Dan berkata Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbaas : Alloh memerintahkan kepada para wanita mukminat apabila mereka keluar dari rumah-rumah mereka untuk suatu kebutuhan hendaknya menutup wajah-wajah mereka dari atas kepala nereka dengan jilbab dan hanya menampakkan satu mata saja. Muhammad bin Sirin berkata : Aku bertanya kepada Ubaidah As Salmaani tentang firman Alloh Swt maka mereka menutupi mukanya, kepalanya dan menampakkan matanya yang kiri). (Tafsir Ibnu Katsir III/518). Dan Ibnu Jariir Ath Thabaari menyebutkan sebagai tambahan keterangan tentang cara menutupkan jilbab maka kajilah dalam tafsirnya jilid XXII/46. Ini adalah dalil kedua, dan sebenarnya dalam permasalahan ini cukup hanya dengan dalil pertama saja namun banyaknya dalil sebagai tambahan hukum adalah lebih kuat.
3. Dalil ketiga adalah : Apa yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah Ra tentang kisah kabar bohong, dia berkata (Rasululloh apabila hendak keluar maka beliau mengundi diantara para istrinya, maka barang siapa yang keluar namanya dia keluar bersama Rasululloh Saw, dia berkata : maka beliau mengundi diantara kami ketika terjadi suatu peperangan yang beliau ikuti lalu keluarlah nama saya, maka aku keluar bersama Rasululloh Saw setelah turunnya ayat hijab --- lalu dia bercerita tentang ketertinggalannya dari pasukan ketika pulangnya, hingga dia berkata --- ketika aku sedang duduk ditempatku aku mengantuk lalu aku tertidur, sedangkan Shafwan bin Mu’aththal As Sulami kemudian Adz Dzakwaani berada di belakang pasukan, hingga masuklah malam hari, maka dia melihat seseorang yang hitam sedang tidur, lalu dengan seketika mengenaliku setelah melihatku, dia melihatku ketika sebelum aku memakai hijab, maka aku segera bangun karena dia mengucapkan istirja’ ( kalimat inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun) ketika melihatku, lalu aku menutupi mukaku dengan jilbabku. (HR. Al Bukhari no. 4750). Ibnu Hajar berkata di dalam syarhnya (perkataannya; setelah turun hijab artinya setelah turun perintah untuk berhijab dan yang dimaksud adalah hijab wanita dari penglihatan laki-laki terhadap mereka, sebelum itu mereka tidak dilarang – sampai pada perkataannya - ; perkataan Aisyah (maka dia mengenaliku ketika melihatku) ini menunjukkan bahwa wajahnya tersingkap ketika dia tertidur, karena sebelumnya dia melipat jilbabnya lalu tidur, ketika dia bangun dikarenakan istirja’nya Shafwan maka segera dia menutupi wajahnya, perkataannya (Dan dia telah melihatku sebelum aku berhijab) artinya sebelum turunnya ayat berhijab). (Fat-hul Baari VIII/458-462).Aku berkata : Ini adalah nash yang jelas tentang para wanita, bahwa mereka menyingkap wajahnya sebelum turunnya ayat hijab, dan mereka menutupinya setelah turun ayat hijab dan menunjukkan bahwa maksud ayat hijab adalah menutup wajah sebagaimana yang terdapat di dalam dua dalil diatas.
Dengan adanya tahapan dalam kewajiban syareat seperti ini disetujui oleh Ibnu Taimiyyah antara dua pendapat, Ibnu Abbaas dan Ibnu Mas’ud di dalam firman Alloh Swt : “Dan janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali yang nampak padanya” (QS. An Nuur : 31). Ibnu Abbaas berkata : Tentang (apa yang nampak darinya) adalah muka dan kedua telapak tangan, dan Ibnu Mas’ud berkata : (apa yang nampak darinya) adalah pakaian, dengan adanya pertentangan antara keduanya maka wajib dikembalikan perselisihan kepada kitab dan sunnah, dan dengan mengembalikan kepada dalil dalil diatas , maka jelaslah bagi kita akan kebenaran pendapat Ibnu Mas’ud dan lebih kuat daripada pendapat Ibnu Abbaas, akan tetapi Ibnu Taimiyyah menyetujui kedua pendapat yang saling bertentangan ini dan berkata :(Para wanita sebelum turunnya ayat hijab mereka keluar tanpa berjilbab, sehingga laki-laki dapat melihat wajah dan kedua telapak tangannya, pada waktu itu dibolehkan bagi mereka terlihat wajah dan kedua telapak tangannya, dan pada waktu itu boleh melihat kepadanya dikarenakan boleh menampakkannya, kemudian ketika Alloh menurunkan ayat hijab dengan firmannya : “Wahai Nabi!! Katakanlah kepada istri-istri dan anak-anakmu serta wanita-wanita mukminat hendaknya mereka menutupkan kain kerudungnya ke seluruh tubuhnya”
Para wanita menutup diri (berhijab) dari laki-laki --- hingga perkataannya --- karena mereka diperintahkan untuk memakai jilbab supaya tidak terlihat (diketahui) yaitu dengan menutupi muka, atau menutupi muka dengan niqab; muka dan kedua tanganya adalah termasuk perhiasan yang diperintahkan untuk tidak diperlihatkan kepada orang asing, maka tidak diperbolehkan bagi orang asing tetap melihat kecuali melihat kepada pakaiannya yang nampak saja, maka Ibnu Mas’ud hanya menyebutkan yang terkahir saja, sedangkan Ibnu Abbaas hanya menyebutkan yang awal saja) (Majmu’ Fatawa XXII/110-111). Kemudian Ibnu Taimiyyah menyebutkan maksudnya naskh (panghapus) yang jelas tentang hal ini, dia berkata; wajah dan kedua tangan serta kedua kaki tidak boleh diperlihatkan kepada orang yang asing menurut dua pendapat yang kuat, berbeda sebelum adanya naskh (penghapusan), bahkan tidak boleh menampakkan perhiasan kecuali pakaiannya saja. (Majmu’ Fataawaa hal. 114)/
Inilah apa yang dilakukan oleh para Shahabiyyah setelah turunnya ayat hijab, bahwa mereka menutup wajah-wajah mereka, diantaranya juga apa yang diriwayatkan oleh muslim tentang kisah keluarnya Nabi Saw bersama Aisyah setelahnya, dalam hal itu Aisyah berkata : (Lalu dia membuka pintu kemudian masuk dengan pelan-pelan lalu aku letakkan pakaianku diatas kepalaku, lalu aku pakai kerudung khimar dan memakai sarungku kemudian aku menyusulnya hingga sampai ke Baqi’(HR. Muslim diakhir kitab Janaa-iz) dan petunjuk dalilnya sangat jelas. Ini dalil ketiga.
4. Adalah sabda Nabi Saw : “Janganlah seorang wanita muslimah memakai kain penutup muka (niqab) dan janganlah memakai sarung tangan” (HR. Al Bukhari dan yang lainnya dari Ibnu Umar secara marfu' dan mauquf). Hadits ini menunjukkan dengan pemahamannya – mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikannya) – bahwa selain wanita yang berihram harus memakai niqab dan sarung tangan, artinya menutup wajahnya dan kedua tangannya, Ibnu Taimiyyah Rhm berkata : (Dan telah ditetapkan dalam hadits shahih bahwa (wanita yang berihram dilarang menggunakan niqab dan sarung tangan) ini menunjukkan bahwa cadar (niqab) dan sarung tangan adalah sesuatu yang telah diketahui oleh para wanita yang tidak berihram, untuk itu wajib dituntut untuk menutupi wajah dan tangan mereka). (Majmu’ Fataawaa XIV/371-372 dan XV/371-372). Bahwa hadits ini secara pernyataannya tidak menunjukkan akan perintah bagi wanita yang berihram untuk membuka wajahnya akan tetapi menunjukkan larangan memakai niqab dan sarung tangan bukan yang lainnya, kemudian bagi mereka untuk menutupi wajahnya setelah itu dengan pakain yang mereka kehendaki. Yang menunjukkan akan hal ini adalah perbuatan para Shahabiyyah dan taqriir (penetapan) dari Rasululloh Saw bagi mereka, dan inilah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama’ fiqih. Dalilnya adalah : Perkataan Aisyah ra: (Para pengendara melewati kami dan kami bersama Rasululloh Saw sedang berihram, apabila mereka berhadapan dengan kami masing-masing kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya diatas wajahnya lalu apabila mereka telah lewat kami membukanya (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Maajah). Dan diriwayatkan dari Imam Malik di dalam kitab Al Muwath-tho’ dari Hisyam bin Urwah dari Fathimah binti Al Mundzir dia berkata : “Kami menutupi wajah kami dan kami sedang ihram dan kami juga bersama Asma’ binti Abu Bakar Ash Shiddiiq”, dan Fathimah adalah istrinya Hisyam dan anak pamannya sedangkan Asma’ adalah neneknya. Hadits Aisyah dan Fathimah binti Al Mundzir menunjukkan apa yang difahami oleh para Shahabiyyah yaitu bahwa larangan wanita yang berihram adalah dari memakai niqab dan kaos tangan maksudnya adalah larangan dari memakai kain khusus (tersendiri) untuk muka dan kedua tangan dan bukan berarti boleh membuka wajahnya, akan tetapi hendaknya menutup mukanya bukan dengan cadar sebagaimana yang telah mereka lakukan, sebagaiman juga laki-laki yang berihram tidak boleh memakai celana yang berjahit bukan berarti dia harus membuka auratnya akan tetapi hedaknya memakai sarung (kain panjang) sebagai pengganti celana. (Majmu’ Fatawa XXII/120 dan XXVI/112-113). Al Khithabi berkata di dalam Syarhus Sunnah Abu Dawud (Dan diantara orang-orang yang berpendapat bahwa perempuan hendaknya menurunkan kain ke mukanya dari atas kepalanya adalah : Atha’, Malik, Sufyan Ats Tsauri, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaaq, dan itu juga pendapat Muhammad bin Hasan, dan Imam Asy Syafi’I telah menta’liq (memberi catatan) atas pendapat itu). Dan perkataannya itu di dalam berihram. Ibnul Qayyim Rhm berkata :(Sesungguhnya Nabi tidak mewajibkan (mensyareatkan) bagi perempuan untuk membuka wajah ketika berihram dan tidak juga pada selain berihram, akan tetapi datang suatu nash yang melarang memakai cadar secara khusus, sebagaimana juga melarang memakai kaos tangan, dan datang suatu nash yang melarang memakai celana dan telah diketahui bahwa larangannya memakai benda-benda ini tidak disebutkan bahwa dia harus terbuka (tersingkap wajahnya) tidak tertutup sama sekali. Bahkan manusia telah bersepakat bahwa sesungguhnya wanita yang berihram hendaknya menutup badannya dengan ghamisnya dan baju besi (pakaiannya), juga bahwa seorang laki-laki menutup badannya dengan rida’ dan bawahnya dengan sarung kain, padahal keluarnya larangan memakai cadar, kaos tangan, ghamis dan celana adalah sama, lalu bagaimana bisa menambahkan suatu tuntutan dari nash yang sudah ada? dan dipahami darinya bahwa disyareatkannya untuk membuka wajahnya diantara kerumunan orang dengan jelas (terang-terangan)? Nash apa yang menuntut akan hal ini? apakah Mafhum (pemahaman), atau keumuman, qiyas atau mashlahat? Bahkan wajah perempuan itu seperti badan laki-laki yang diharamkan untuk ditutupinya dengan kain yang berjahit (disambung) sesuai dengan bentuknya seperti niqab, dan burqa bahkan seperti tangannya yang diharamkan untuk ditutupi dengan kain yang dijahit seperti kaos tangan, sedangkan menutupinya dengan lengan baju dan menutupi wajahnya dengan baju wanita yang panjang sampai ke paha, khimar dan baju tidak dilarang sama sekali). (Badaa-I’ul Fawaaid : III/142). Setelahnya : Inilah 4 hal yang menunjukkan jelasnya akan kewajiban seorang wanita menutup wajahnya dengan hadirnya seorang laki-laki asing, disana ada dalil-dalil lain; seperti firman Alloh Swt :“Dan janganlah mereka memukul-mukulkan kaki mereka supaya diketahui apa yang tersembunyi dari perhiasannya” (QS. An Nuur : 31).Dan firman Alloh Swt : “Dan perempuan-perempuan yang telah terhenti (dari haidh dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tidak berdosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasan” (QS. An Nuur : 60).Sesungguhnya ayat-ayat ini menunjukkan akan Dalaalatul aula (petunjuk yang lebih utama) dan fahwal khitaab (makna tersirat) akan wajibnya menutup wajah. Dan Al Albaani telah membantah setiap dalil-dalil shahih, jelas dan tetap ini tentang kewajiban seorang perempuan menutup wajahnya dengan kehadiran seorang laki-laki asing, dan memberi catatan dengan dalil-dalil yang lemah sanadnya atau tidak jelas pengertiannya untuk membela pendapat-pendapatnya.
Untuk lebih rinci (detail)nya dari apa yang telah saya ringkas dari dalil-dalil akan kewajiban menutup wajah dapat anda temui di dalam rujukan-rujukan sebagai berikut:1. Majmu’ Fataawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pada tempat tempat sebagai berikut; XIV/371-372, XV/371-373, XXII/109-120, dan hal. 148-151, dan XVI/112-113.
2. Tafsir Adlwaa-ul Bayaan oleh Asy Syanqithi, pada tempat-tempat sebagai berikut ; tafsir ayat dalam surat An Nuur : “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang nampak darinya” … pada jilid VI/186-202 dan tafsir ayat dalam surat Al Ahzaab : “Dan apabila kalian meminta suatu kebutuhan kepada mereka maka maka hendaklah meminta izin dari belakang tabir” … jilid VI / 584-603.
3. Fat-hul Baari oleh Ibnu Hajar, pada tempat-tempat berikut ini :
- Syarah (penjelasan) hadits no. (578) di dalam Fat-hul Baari II/54-56.
- Penjelasan hadits no. (4750) di dalam Fat-hul Baari VIII/452 dan setelahnya.
- Penjelasan hadits no. (4758) di dalam Fat-hul Baari VIII/490.
4. Kitab Bada-I’ul Fawaaid oleh Ibnul Qayyim Rhm cet. Daarul Kitab Al Arabi III / 141-143, di dalam bantahannya terhadap Ibnu Uqail Al Hambali.
5. Kitab As Sailul Jiraar oleh Asy Syaukaani IV/127-132. Ini adalah pemahaman tentang kewajiban menutup wajah, sedangkan kesalahan Al Albaani dalam hal ini telah dibantah oleh kebanyakan orang, diantaranya; Syaikh Asy Syanqithi di dalam tafsir ayat hijab dalam surat Al Ahzaab dalam kitabnya (Adlwaa-ul Bayaan VI/595 dan selanjutnya), namun tidak menyebutkan nama Al Albaani akan tetapi beliau berkata : (Adalah jelas bahwa berhijab bagi wanita dari para laki-laki dan menutup wajah mereka adalah pembenaran akan kitab Alloh dan beriman dengan apa yang diturunkannya sebagaimana yang anda lihat, maka sangat aneh bagi orang-orang yang mengaku berilmu bahwa hal itu tidak terdapat di dalam kitab Alloh dan tidak pula di dalam sunnah yang menunjukkan bagi seorang wanita menutup wajahnya dari orang asing!!) Hingga akhir apa yang beliau sebutkan.Dan Syaikh Hammud At Tuwaijiri di dalam kitabnya (Ash Shaarimul Masyhuur Ala Ahlit Tabarruji Was Sufuur) Juga Syaikh Shaalih bin Ibrahim Al Bulaihi di dalam kitabnya (Yaa Fataatul Islaam Iqra-ii Hatta Laa Takhda’’ii) cet. Maktabah Al Ummah di Qatar. Di dalamnya disebutkan nama-nama yang membantah Al Albaani beserta kitab-kitabnya. Maka lihatlah buku-buku itu, dia mengemukakan di dalam kitabnya tentang hal ini dengan pandangan-pandangan yang diplomatis (bijaksana) dan tidak keras. Allah Swt berfirman : “Dan janganlah menjadi pembela bagi orang-orang yang berkhianat” (QS. An Nisaa’ : 105) Dan bantahan-bantahan ini mengandung kritikan-kritikan dari apa yang dijadikan dalil oleh Al Albaani disertai dengan dalil-dalil kewajiban menutup wajah, namun terdapat salah seorang dari kalangan orang-orang yang membantah ini tidak membahas suatu perkara yang penting yaitu pentingnya untuk melihat perbuatan para salaf umat ini dalam permasalahan-permasalahan terjadinya perselisihan dan pengaruhnya dalam hal itu adalah di dalam pentarjiihan (pengambilan dalil yang paling kuat), karena ummat tidak akan bersepakat di dalam kesesatan dan para salaf adalah yang paling paham dengan dalil-dalil yang terdapat di dalam kitab dan sunnah dan apa-apa yang dipahami dari keduanya, inilah yang saya sarankan bagi setiap orang yang akan mengeluarkan pendapat yang baru yang dia kira bahwa dalil-dalil yang menyelisihinya hendaknya melihat kepada apa yang telah dilakukan oleh para salaf ummat ini, lalu apa yang telah berlaku (berjalan) oleh mereka dalam urusan menutup wajah? Jawabannya adalah : Bahwa telah jelas bagi anda empat dalil yang telah saya sebutkan diatas, bagaimana perbuatan-perbuatan para Shahabiyyah yang menetapkan akan penutupan wajah mereka setelah turunnya ayat-ayat hijab setelah mereka menyingkapkannya sebelum turunnya ayat-ayat itu, untuk itulah hal ini juga berlaku bagi para wanita muslimat sebagaimana yang ditunjukkan oleh perkataan Abu Haamid Al Ghazaali yang meninggal pada awal abad ke 6 hijriyah (505 H), rhm berkata : (Dan sekarang dibolehkan bagi wanita yang suci untuk keluar dengan ridha suaminya akan tetapi berdiam diri adalah lebih selamat dan hendaknya jangan keluar kecuali karena kepentingan, sesungguhnya keluar rumah untuk melihat-lihat dan untuk hal-hal yang tidak penting adalah tercela di dalam muruu-ah (kewibawaan), bisa jadi menyebabkan kepada kerusakan, dan apabila keluar seharusnya mereka menundukkan pandangannya dari laki-laki, dan kami tidak mengatakan bahwa bagi wanita wajah laki-laki adalah aurat seperti wajah wanita adalah aurat bagi laki-laki, bahkan laki-laki itu seperti amrod (anak kecil yang belum tumbuh kumis dan jenggotnya) maka diharamkan melihatnya bagi laki-laki ketika ditakutkan terjadi fitnah saja, jika tidak terjadi fitnah maka tidak mengapa; artinya laki-laki disepanjang zaman selalu terbuka wajahnya dan wanita keluar rumah selalu menggunakan cadar, jika wajah laki-laki adalah aurat bagi para wanita pasti mereka akan diperintahkan untuk memakai cadar atau mereka dilarang keluar rumah kecuali karena kebutuhan yang mendesak). (Ihyaa-u ‘Uluumud Diin II/53).

Ini adalah perkataan Imam Al Ghazali pada awal abad ke 6 H, dan renungkanlah perkataannya (Artinya laki-laki disepanjang zaman selalu terbuka wajahnya dan wanita keluar rumah selalu memakai cadar) inilah yang dilakukan oleh umat salaf yang menganggapnya – sebelumnya oleh Al Ghazaali di dalam (Al Mustashfaa II/396) dan Abu Bakar Al Haazimi di dalam kitabnya (Al I’tibaar Fin Naasikh Wal Mansuukh Minal Atsaar, hal. 19) – mereka semua menganggapnya sebagai salah satu sarana di dalam pentarjiihan (pengambilan dalil yang paling kuat) diantara dalil-dalil syar’iy yang saling bertentangan dan disini tidak disebutkan pertentangan yang telah kami sebutkan di dalam mengkritik dasar-dasar pengikut Imam Malik dari bantahan-bantahan mereka terhadap hadits shahih dengan amalan-amalan dari penduduk Madinah, dikarenakan ada dua sebab; pertama : Sesungguhnya disini melihat pada perbuatan seluruh ummat bukan amalan sebagian orang seperti penduduk Madinah, kedua : Bahwa amalan ummat disini dikuatkan oleh dalil atas dalil yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dikarenakan tidak adanya amalan dengan dalil yang selamat dari pertentangan sebagaimana amalan penduduk Madinah). Dan Asy Syathibi telah menerangkan dengan panjang lebar (detail) tentang hal itu ketika Al Ghazali dan Al Haazimi meringkasnya, maka Asy Syathibi Rhm berkata : (Sesungguhnya sesuainya amal --- artinya sesuai dengan dalil --- merupakan faktor yang paling kuat di dalam pentarjiihan, karena kesesuaiannya dengan dalil adalah penguat bagi dalil-dalil yang digunakan, dan sebagai pembenaran terhadapnya seperti apa yang dibenarkan oleh ijma’. Karena sesungguhnya itu termasuk ijma’ fi’li (perbuatan) berbeda dengan apabila menyelisihi dalil, karena sesungguhnya menyelisihinya adalah lemah baginya atau sebuah kebohongan, juga sesungguhnya amalan itu membersihkan dalil-dalil dari kecacatan dan cela berupa kemungkinan-kemungkinan yang melemahkan dalil, karena seorang mujtahid ketika dia melihat pada suatu dalil tentang suatu masalah dia membutuhkan penelitian dari berbagai macam unsur-unsur yang tidak akan lurus di dalam penggunaan dalil itu kecuali dengan melakukan hal itu, menemukan yang nasikh (penghapus) dari yang mansuukh (yang dihapus) yang mubayyan (rinci) dari yang mujmal (umum) dan yang lainnya, hal itu sangat membantu di dalam menempuh jalan ijtihad yang besar --- hingga perkataannya --- untuk itu tidak kamu dapatkan suatu kelompok dari kelompok-kelompok yang sesat dan tidak seorangpun yang menyelisihi hukum-hukum baik yang furu’ (cabang) maupun yang ushuul (dasar) tidak mampu beristidlaal (menyimpulkan dalil) terhadap pendapatnya dengan dalil-dalil yang jelas, dan hal itu telah disebutkan contoh-contohnya, bahkan kami telah menyaksikan dan melihat orang-orang fasik yang berdalil atas masalah-masalah kefasikan dengan dalil-dalil yang disandarkan kepada syareat yang suci – kemudian Asy Syathibi berkata : Untuk itu semua wajib bagi setiap orang yang ingin menelaah sebuah dalil syar’iy untuk menjaga apa yang telah dipahami oleh orang-orang terdahulu tentang dalil-dalil itu, dan apa yang mereka amalkan lebih akurat kebenarannya serta lebih lurus ilmu dan amalnya). (Al Muwaafaqaat III/76-77). Maka renungkanlah perkataan Asy Syathibi bahwa tidak seorangpun yang menyelisihi kecuali memungkinkan baginya untuk menyimpulkan suatu dalil kemudian yang menguatkan dalam hal ini --- mengandung banyak hal yang dikuatkan --- adalah melihat kepada amalan salaf ummat ini karena sesungguhnya itu adalah pemurnian bagi dalil-dalil dari cela atau cacat yang mengandung kemungkinan-kemungkinan yang dapat melemahkan dalil, dalam pembahasan yang sama Asy Syathibi berkata juga : (Setiap dalil syar’iy tidak lepas dari pengamalan para salaf ummat terdahulu secara terus menerus atau kebanyakan umumnya atau menjadi pengamalan sedikit saja dari mereka atau disuatu waktu saja atau tidak pernah diamalkan sama sekali, ketiga pembagian ini adalah ; (pertama) : selalu dan terus menerus diamalkan atau umumnya mengamalkannya, maka tidak ada permasalahan di dalam menyimpulkan dalil dengannya dan juga tidak ada permasalahan di dalam mengamalkannya sesuai dengan dalilnya, dan itu adalah sunnah yang mutaba’ah (diikuti) dan merupakan jalan yang lurus --- sampai pada perkataannya --- : (kedua) : tidak diamalkan kecuali sedikit, atau suatu waktu saja atau suatu keadaan tertentu saja, dan terjadi amalan yang lainnya yang dilakukan secara terus menerus atau kebanyakan, maka selainnya itu adalah sunnah yang diikuti, dan jalan yang boleh dilalui, sedangkan apa yang tidak pernah dilakukan kecuali sedikit maka wajib berpegang teguh dengannya dan beramal sesuai dengan dalilnya, dan membiasakan diri dengan apa yang lebih umum berlaku dan lebih banyak --- hingga perkataannya --- :(ketiga) tidak ada ketetapan dari orang-orang terdahulu bahwa mereka mengamalkan dalil itu dalam suatu keadaan, maka ini lebih berat dari sebelumnya, dan dalil-dalil yang sebelumnya yang berlaku lebih diutamakan. Dan apa yang dibayangkan oleh Muta-akhirin (orang-orang belakangan) bahwa itu merupakan dalil atas apa yang mereka kira adalah bukan suatu dalil sama sekali, artinya seandainya hal itu adalah sebuah dalil pasti tidak akan terlupakan dari pemahaman para shahabat dan Tabi’in kemudian dipahami oleh mereka, sedangkan amalan-amalan dari orang-orang terdahulu bagaimanapun akan berbenturan dengan konsekwensi pemahaman ini dan akan bertentangan dengannya, walaupun dengan meninggalkan amalan, maka apa yang dilakukan oleh para Muta-akhirin dari bagian ketiga ini adalah berbeda dengan ijma’ orang-orang terdahulu dan setiap orang yang menyelisihi ijma’ adalah orang yang salah, serta ummat Muhammad Saw tidak akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, maka apa yang mereka amalkan atau tinggalkan adalah sunnah dan perintah yang sah serta itu adalah petunjuk. Disana tidak ada yang lain kecuali benar atau salah, maka setiap orang yang menyelisihi salaf terdahulu adalah salah, dan ini sudah cukup --- hingga perkataannya --- dan kebanyakan kamu dapatkan orang-orang yang berbuat bid’ah dan sesat menggunakan dalil dengan kitab dan sunnah, membawa keduanya kepada madzhab mereka dan membungkus (mencampur) dengan syubhat-syubhat keduanya dihadapan orang-orang awam sehingga mereka mengira bahwa mereka diatas suatu dalil). (Al Muwaafaqaat III/56-57). Apabila kalian merenungkan hal-hal diatas maka kamu ketahui bahwa apa yang dikira oleh Syaikh Al Albaani sebagai dalil akan tidak wajibnya seorang wanita menutup wajahnya termasuk ke dalam bagian yang ketiga, dikarenakan tidak ada ketetapan dari orang-orang terdahulu dari para shahabat dan orang-orang setelah mereka hingga pada masa Al Ghazali 505 H bahwa mereka melakukan hal itu. Dan perhatikanlah pendapat Asy Syathibi (Maka apa yang mereka lakukan atau tinggalkan adalah sunnah dan perintah yang sah) perhatikan juga perkataannya (Dan apa yang dibayangkan oleh para mutaakhirin bahwa hal itu adalah dalil atas apa yang mereka kira padahal bukan merupakan suatu dalil sama sekali, karena jika itu sebuah dalil pasti tidak akan terlupakan dari pemahaman para Sahabat, Tabi’in dan kemudian dipahami oleh mereka). Dengan ini kamu mengetahui pentingnya melihat kepada amalan para salaf untuk mememahami maksud dari dalil-dalil dan untuk mentarjiih diantara dalil-dalil tersebut, dari hal itu kamu dapat mengetahui kesalahan pendapat Syaikh Al Albaani karena telah berlaku amalan para salaf yang menyelisihi dari apa yang dia pahami. Lalu bagaimana padahal dalil-dalil shahih yang telah kami sodorkan dapat membantahnya? Dan telah ditunjukkan berlakunya amalan kaum muslimin tentang hal ini oleh Syaikh Muhammad bin Ibraahim Alu Syaikh, mantan mufti dan ketua hakim Saudi, beliau berkata di dalam fatwanya no. 2639 : Tentang seorang wanita membuka kerudungnya dan keluarnya dari rumah ditengah-tengah orang asing? Beliau menjawab : (Al Hamdulillah sudah jelas bahwa amalan kaum muslimin dan istri-istri Nabi Saw serta istri-istri para Sahabat pada masa Rasululloh Saw dan masa Khulafaa’ur Raasyidin serta Salafus shalih bahwa seorang wanita tidak keluar rumah untuk bersafar. Dan nash syar’iy dari kitab dan sunnah serta perkataan para umat salaf dan orang-orang setelah mereka tentang hal ini sangat banyak sekali dan telah diketahui. Dan Alloh telah menyuruh para wanita-wanita kaum muslimin untuk (menjulurkan jilbabnya ke dada mereka). Dan mentafsirkan dari Ibnu Abbaas dan para salaf yang lainnya dengan menutup wajah mereka dari laki-laki asing, dan tidak boleh menanggalkan hijab kecuali dari wanita-wanita yang sudah menopause dengan syarat tidak berhias diri, Alloh Swt berfirman : “Dan wanita-wanita tua yang tidak mengaharapkan lagi untuk menikah maka tidak mengapa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak bermaksud menampakkan perhiasan” Dan sabda Rasululloh : “Wanita itu adalah aurat” Aurat itu wajib ditutup semuanya serta tidak boleh disingkap sedikitpun darinya. Ibnul Mundzir menceritakan adanya ijma’ bahwa sesungguhnya seorang wanita yang berihram menutup kepalanya, rambutnya dan membiarkan pakaiannya turun dari atas mukanya dengan kerudung yang dapat menutupi dirinya dari pandangan laki-laki asing. juga diriwayatkan oleh Ibnu Ruslan akan kesepakatan kaum muslimin atas larangan kaum wanita untuk keluar rumah dengan membuka wajahnya, jika terus kita lanjutkan setiap apa yang disebutkan berkenaan dengan hal ini pasti akan terlalu panjang lebar pembahasannya, dalam hal ini cukuplah bagi orang yang niatnya mencari kebenaran, dan Alloh adalah pemberi petunjuk, kita memohon kepada Alloh untuk menolong din-Nya dan meninggikan kalimat-Nya serta memberi rezeki kepada dengan berpegang teguh. (Fatwa no. 1243, pada tanggal 21-6-1389). Dan Syaikh Muhammad bin Ibraahiim ditanya (Fatwa no. 2647 : Soal: Syaikh Nashiiruddin Al Albaani berpendapat tentang membuka kerudung ? Maka beliau menambah jawabannya dengan perkataannya : ( Dia ingin menyembuhkan sakit pilek namun malah terkena penyakit lepra (kusta) dari (Fataawa War Rasaail Asy Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah Alu Syaikh, seorang mufti dan ketua hakim di Saudi, di kumpulkan oleh Muhammad bin Abdur Rahmaan bin Qaasim, cet. 1399 H X/23-24 dan 28). Ini, oleh salah seorang muridnya Syaikh Al Albaani dia berusaha membela Syaikhnya, mengingat sandaran Syaikhnya dalam berhujjah menggunakan beberapa hadits dhaif maka murid tersebut berusaha menguatkan salah satu hadits-hadits ini, yaitu apa yang diriwayatkan bahwa Nabi Saw berkata kepada Asma’ binti Abi Bakar Ra : “Apabila seorang wanita telah mencapai masa haidh maka tidak boleh dilihat darinya kecuali ini, beliau menunjuk ke wajah dan kedua telapak tangan” lalu Ali Hasan Ali Abdul Haamid menulis satu kitab dengan judul (Tanwiirul ‘Ainaini Fit Thuruqi Hadii-tsi Asmaa’ Fii Kasy-fil Wajhi Wal Kaffaini) cet. Daarul Iman, 1410 H. Di dalamnya dia menyebutkan dua hadits dhaif sebagai penguat untuk menguatkan hadits Asmaa’, dan kami memiliki catatan terhadap pengarang dan kitabnya, untuk pengarang yaitu (Ali Hasan Abdul Haamid) dia adalah seorang yang cacat keadilannya, tidak seharusnya menukil ilmu sedikitpun darinya, dan telah aku jelaskan sebab-sebab akan hal itu di dalam kitab saya (Al Umdah Fii I’daadil Uddah Lil Jihaad Fii Sabiilillah), secara ringkas saya katakan disini; Sesungguhya orang itu di dalam kitabnya (Al Ba’iah Bainas Sunnah Wal Bid’ah) menukil dari Ibnu Taimiyyah satu perkataan yang di dalamnya penuh dengan kebohongan, karena dia menyelewengkan perkataan Syaikhul Islam yang dapat membela pendapatnya pada permasalahan itu, dan dia mengulang-ulang hal ini dibeberapa tempat di dalam kitabnya sebagaimana yang telah aku rincikan di dalam kitabku (Al Umdah) dan perkataan yang dinukil dari Syaikhul Islam yang menjadi perkataannya di tempat yang telah disebutkan pada jilid ke XVIII dari Majmu’ Fataawanya, maka pengarang ini tidak bisa dipercaya, dan aku kira ada seseorang yang melakukan seperti apa yang dilakukannya demi kebohongan untuk membela pendapatnya, akan tetapi urusannya sebagaimana yang disebutkan oleh Rasululloh Saw : “Apabila kamu tidak punya rasa malu maka perbuatlah sesuka hatimu” (HR. Al Bukhari).Orang seperti dia tidak boleh diambil sedikitpun ilmunya khususnya ilmu hadits, dan apabila dia berbuat ini maka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang cacat dan ditinggalkan, dan yang lebih mengherankan bahwa dia melakukan hal ini padahal dia termasuk orang yang mendalami ilmu hadits dan dia sangat mengetahui hukum berdusta dan orang-orang yang berdusta, juga mengetahui perkataan salaf bahwa tidaklah seseorang berdusta di dalam menukil ilmu kecuali Alloh akan menyingkapnya. Dan yang lebih menyedihkan lagi bahwa ustadz Bakar Abu Zaid --- di dalam kitabnya Hukmul Intimaa’ Ilal Jamaa’aat Al Islaamiyyah --- dia berpendapat sama dengan pengarang buku ini (yakni buku Al Bai’ah Bainas Sunnah Wal Bid’ah).Syaikh Al Albaani sendiri sudah lebih dulu di dalam menyelewengkan tentang nukilan dari orang lain yang telah aku singgung di dalam pembahasan akidah, dan keduanya menggantinya pada tempat-tempat yang dia ingin menggunakannya untuk membela pendapat-pendapatnya, maka lihatlah apa yang dicapai oleh orang-orang yang mendalami ilmu syar’iy pada zaman ini? dan telah saya nukil dalam pembahasan I’tiqad dari Ibnu Hazm perkataannya bahwa penyelewengan ini di dalam menukil adalah kebohongan belaka.

Ini berkenaan dengan pengarangnya, dan dia telah cacat keadilannya karena dia berbohong yang menyebabkan menjatuhkan hujjah dengan pendapatnya sebagai dasar, namun bersamaan dengan itu saya akan menjelaskan bahwa belum datang sesuatu yang baru yang membela Syaikhnya dalam kitabnya yang berjudul Tanwiirul Ainaini dia telah menyebutkan hadits Asmaa’ dan menyebutkan ada empat sebab yang menjadikannya dhaif, kemudian menyebutkan dua hadits penguat bagi hadits tersebut. (pertama) : Hadits dhaif riwayat Al Baihaqi dari Asmaa’ binti Umais Ra dan dia mengira bahwa hadits itu dikuatkan dengan amalan Asmaa’ (menurutnya), ini tidak benar, Imam An Nawawi berkata di dalam (At Taqriib) : (Perbuatan orang alim dan fatwanya yang sesuai dengan hadits bukan suatu hukum akan keshahihannya, dan bukanlah menyelisihinya sesuatu yang cacat / jelek akan keshahihannya dan tidak juga dalam perawi-perawinya) (Tadriibur Raawi I/315). (kedua) : Hadits Mursal riwayat Abu Dawud dari Qataadah secara mursal. Pengarang (Ali Hasan) berkata : Bahwa hadits itu mursal shahihul isnad, kemudian menyebutkan suatu perkataan dari As Suyuuthi bahwa mursal adalah shahih menurut tiga imam, dan menurut Asy Syafi’I shahih apabila dikuatkan dengan salah satu dari beberapa hal lalu dia menyebutkannya, dia menulis tentang penjelasan hal-hal yang menguatkan hadits mursal (hal. 46, 47 dari kitabnya) dengan menerangkan bahwa yang dimaksud hadits mursal adalah hadits Asmaa’.
Disini ada beberapa catatan :
1. Pengarang menukil dari As Suyuthi tentang hukum mursal yang dapat membela pendapatnya, yaitu bahwa mursal adalah shahih menurut tiga imam, dan shahih menurut Asy Syafi’I dengan syarat-syarat, disana ada hukum mursal lainnya yang sangat jelas bagi pengarang dan telah disebutkan oleh As Suyuthi dalam (Tadriibur Raawi) beliau berkata : (Disimpulkan tentang penggunaan hujjah dengan mursal ada sepuluh pendapat), kemudian menyebutkannya (At Tadriibur Raawi I/202), namun Ali hasan tidak menyebutkan sepuluh pendapat ini akan tetapi membatasi hanya apa yang dirasa dapat menguatkan hadits mursal untuk membela pendapatnya.
2. Bahwa dia berkata tentang hadits mursal riwayat Qataadah bahwa hadits itu sanadnya adalah shahih sampai kepada Qataadah, dengan apa yang dirasa oleh pembaca dapat menguatkannya dan memungkinkannya untuk dapat dijadikan hukum-hukum berdalil dengan hadits mursal yang dia nukil dari As suyuthi, namun dia tidak menukil dari perkataan para ulama’ tentang hadits mursal Qataadah secara khusus karena sesungguhnya yang khusus itu didahulukan daripada yang umum, dan As suyuthi berkata : (Yahya bin Said tidak berpendapat sedikitpun tentang mursalnya Qataadah, dan dia berkata : kedudukannya seperti keadaan angin). (At Tadriibur Raawi I/205) maka jelaslah dengan hal itu bahwa mursalnya Qataadah tidak dianggap sah.
3. Sedangkan apabila yang dimaksud dengan mursal yang dia ingin dikuatkan adalah hadits Asmaa’ binti Abi Bakar, maka hadits ini bukan mursal dengan makna secara istilah melainkan hadits itu statusnya munqothi’ (terputus) antara Khalid bin Darik dengan Aisyah, namun para salaf terlalu berlebihan dalam menggunakan lafadz ini sehingga menjadi istilah baku terhadap apa yang diriwayatkan oleh seorang Tabi’in dari Nabi Saw. Lihat (At Tadriibur Raawi I/195 dan setelahnya). Maka jelaslah dengan hal itu bahwa hadits Asmaa’ adalah munqathi’ bukan mursal yang dikuatkan dengan hal-hal yang telah disebutkan. Dengan ini kamu lihat bahwa pada bab ini tidak ada sedikitpun kelayakan untuk dijadikan hujjah sebagai dasar. Dan pengarang ingin menguatkan hadits Asmaa’ dengan perkataan Ibnu Abbaas bahwa (apa yang nampak darinya) adalah wajah dan kedua tangan, dan dia berijtihad akan shahihnya perkataan ini, hal itu walaupun shahih akan tetapi tidak ada hujjah di dalamnya dikarenakan beberapa sebab : (diantaranya) bahwa Ibnu Abbaas mengatakan dengan menutup wajah di dalam menafsirkan firman Alloh : “Hendaknya mereka menutupkan kerudungnya ke dada mereka” sebagaimana yang telah saya sebutkan tadi, maka ini bertentangan dengan perkataannya sendiri, (diantaranya) hadits Aisyah di dalam tafsir firman Alloh : “Hendaknya mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka” . Dan telah saya sebutkan sebelumnya, yaitu dipilih yang kuat pendapat Ibnu Mas’ud daripada pendapat Ibnu Abbaas.

Adapun perkataan Ibnu Taimiyyah --- yang telah saya sebutkan sebelumnya --- sesungguhnya sifatnya tidak bertentangan karena dimungkinkan untuk dikorelasikan (kompromikan) antara dua pendapat dengan membawa perkataan Ibnu Abbaas adalah sebelum turunnya hijab dan perkataan Ibnu Mas’ud dan Aisyah adalah setelah turunnya ayat hijab. Lalu bagaimana amalan para salaf umat berselisih dengan pendapat Ibnu Abbaas? Dan Ibnu Taimiyyah telah menjelaskan dengan masuknya naskh (penghapus) pada masalah ini. (Majmu’ Fataawa XXII/110-114). Dengan seperti ini, menjawab dari hadits Asmaa’ binti Abi Bakar adalah hal itu walaupun shahih namun hal itu dibawa kepada keadaan sebelum turunnya ayat hijjab, lalu bagaimana bisa tidak shahih? Dan diketahui bahwa tidak dibawa kepada tarjiih diantara dalil-dalil kecuali tidak dikompromikan diantara dalil-dalil tersebut, yang benar bahwa tidak terdapat dalil yang shahih yang dapat digunakan sebagai hujjah bolehnya membuka wajah, sampai-sampai kita katakan walaupun dengan kompromisasi atau dengan tarjiih akan tetapi bagi orang-orang yang mengaku bahwa disana ada dalil maka kami katakan : sesungguhnya dengan cara dikompromikan adalah memungkinkan untuk dilakukan sebagaimana pendapat Ibnu Taimiyyah dan sesungguhnya dengan cara tarjiihpun memungkinkan untuk dilakukan. Bukan berarti seorang pelajar mendapatkan sebuah hadits shahih dan berfatwa dengan kewajibannya tanpa melihat kepada apa yang menyelisihinya dan tanpa melihat kepada perkataan-perkataan ulama’ di dalamnya, kadang-kadang ada sebuah hadits shahih namun tidak boleh berfatwa akan kewajibannya, bisa jadi karena hadits itu sudah mansukh (terhapus) atau karena adanya kesalahan periwayatannya dari para shahabat, seperti hadits : “Air itu adalah dari air” dan juga seperti hadits Ibnu Abbaas bahwa Nabi Saw menikah dengan Sayyidah Maimunah padahal dia dalam keadaan berihram, hadits-hadits ini terdapat di dalam buku-buku shahih seperti Shahih Al Bukhari dan lain-lain, akan tetapi tidak boleh berfatwa dengannya. Untuk itu Imam Ahmad Bin Hanbal berkata --- di dalam berfatwa dari buku-buku hadits --- (Tidak diamalkan sampai ditanyakan apa yang diambil darinya, karena menjadi amalan diatas perintah yang benar, menanyakannya kepada ahlul ilmi tentang hal ini) (I’laamul Muwaaqi’iin IV/206). Dahulu orang-orang Ahlur Ra’yi dari kalangan fuqaha’ telah melakukan hal yang tercela dalam mencari hadits, mereka tidak memahami sedikitpun dari fiqhul hadits dan cara menggunakan hujjah dengannya dan mengkategorikan mereka bahwa mereka hanya meriwayatkan saja tanpa memahami makna apa yang diriwayatkan. Dan mereka hanya sebagai zawaamil bagi buku-buku saja, dan zawaamil adalah onta yang disiapkan untuk hamil. Inilah faktor yang mendorong bagi Al Khatib Al Baghdadi untuk mengarang bukunya (Al Faqih Wal Mutafaqqih), beliau menyebutkan dalam buku ini bahwa dia menulisnya untuk membuka pandangan orang-orang yang menekuni hadits dan dasar-dasar berhujjah dengannya serta cara menyimpulkan darinya, yaitu apa yang menjadi kecacatan orang-orang yang rasionalis (lebih mengutamakan akal). Lihat (Al Faqiih Wal Mutafaqqih II/71-72). Inilah akhir perkataan saya yang saya sebutkan tentang pendapat dari murid Al Albaani (Tanwiirul Aini) (tambahan) Seruan Al Albaani sama seperti seruannya Qasim Amiin yang dijuluki dengan pembebas para wanita :Maka kami ketahui apa yang dikatakan oleh Al Albaani tentang tidak wajibnya seorang wanita untuk menutup wajahnya adalah sama seperti apa yang diserukan oleh Qasim Amiin, seseorang yang berkampanye dengan apa yang dinamakan (kebebasan wanita) di awal-awal abad ke 20 M, Qasim Amiin menginginkan tidak lebih hanya seorang wanita untuk membuka wajahnya disertai dengan tetap menutup badannya, bukan seperti apa yang dikira oleh sebagian orang-orang bahwa dia menyerukan untuk membuka keseluruhan pakaiannya, walaupun seruannya yang bathil telah menyebabkan terbukanya pakaian secara menyeluruh dengan membuka rambut dan badannya setelah itu. DR. Muhammad Muhammad husain berkata : (Sedangkan tujuan ketiga yang terpengaruh orang-orang yang memiliki budaya barat adalah tuntutan dengan apa yang dinamakan dengan (kebebasan wanita) --- perkataannya --- hal penting yang paling nampak dalam permasalahan ini adalah dua kitab karangan Qasim Amiin, yang setelah itu namanya dihubungkan dengan gelar (Bapak kebebasan wanita). Dua kitab itu adalah (Tahriirul Mar-ah) dan (Al Mar-ah Al Jadiidah) cet. Pertama tahun 1899 M, pengaruh dari munculnya kitab ini sangat ramai sekali pada waktu itu. Dan keduanya terus menerus menjadi perdebatan dan diskusi di media cetak selama setengah abad --- hingga perkataannya --- di dalam kitabnya mengandung empat hal : hijab, kesibukan wanita dengan urusan-urusan umum, poligami dan talak (perceraian). Dan masing-masing masalah pandangannya selalu sesuai dengan pendapat barat, namun mengaku bahwa hal itu adalah madzhab (pendapat) islam, sedangkan hijab, pada dasarnya dia menganggap hal itu hanya sebagai adab yang harus dipegang teguh, akan tetapi dia menuntut untuk disesuaikan dengan syareat islam – hingga dia berkata dengan lisan Qasim Amiin – dan para imam telah sepakat bahwa wajah dan kedua telapak tangan yang termasuk pengecualian dalam ayat, dan terjadi perselisihan diantara mereka tentang anggota badan lainnya seperti kedua lengan dan kaki) (Al Ittijaahaat Al Wathaniyyah Fil Aadaab Al Muaashir I/293-295). Dan ayat yang dimaksud adalah firman Alloh Swt ; “Dan janganlah dia menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang nampak darinya” Dan para ulama’ tidak bersepakat bahwa apa yang nampak dari pehiasan yang dimaksud adalah wajah dan kedua telapak tangan, bahkan hal ini menurut pendapat Ibnu Abbaas dan Ibnu Mas’ud perhiasan yang nampak adalah pakaian dan inilah yang Rajih (lebih kuat) sebagaimana yang telah diterangkan sebelumnya. Kemudian DR. Muhammad Muhammad Husain berkata pada jilid II dari kitab yang sama (Qasim Amin tidak menyeru sama sekali kepada percampuran antara wanita dengan laki-laki dan berdansa dengannya, dan sama sekali tidak menyeru untuk memakai pakaian ketat yang tidak menutup aurat badan kecuali hanya untuk menampakkan tempat-tempat fitnah dan menggodanya, akan tetapi Qasim Amin walaupun tidak menyeru akan hal itu sedikitpun namun dialah yang membuka pintu bagi seruan-seruan seperti ini, dan dialah yang membuat langkah pertama di jalan yang harus dilewati oleh manusia setelahnya dengan berbagai macam langkah.Hal yang tidak diperhitungkan oleh Qasim Amin adalah kesibukan manusia setelah perang, sehingga permasalahnnya menjadi berkembang sedemikian cepatnya, sehingga seruan Qasim Amin menjadi tersebar dalam waktu yang singkat dari setiap maksud-maksudnya, lalu manusia bergabung dibelakangnya dengan cepat tanpa menunggu-nunggu. Para wanita melepaskan cadarnya kemudian mengganti pakaian luarnya yang berwarna hitam dengan warna yang berhias lalu tidak lama kemudian membuang pakaiannya yang berwarna kemudian mengambil gunting dan memotongnya sedikit demi sedikit pakaian ini dari ujungnya lalu lengannya lalu ditengahnya, dan terus membuat dosa dengan mengetatkannya sampai-sampai orang yang memakainya seperti terlihat sebagian kulitnya, kemudian sampai melampaui batas itu semua hingga nampak (terlihat) dipinggir-pinggir pantai pada musim panas dengan hampir tanpa busana sama sekali, dan tidak mempertimbangkan kesucian wanitanya dihadapan suaminya akan tetapi di hadapan perancang-perancang model pakaian di paris dan orang-orang yahudi serta komunis penjahat --- hingga perkataannya --- pandangan-pandangan ini diikuti dengan cepat dan mencengangkan. Dan tidak ada kesempatan untuk mengantisipasinya, juga dibantu dengan bergabungnya suasana revolusi yang mengobarkan peperangan, hal ini mengilhami dari kelancangan dan kedurhakaan orang-orang yang sudah lama, telah nampak perintisan hal itu pada demonstrasi perempuan yang terkenal pada tahun 1919 M, yang membanjiri jalan-jalan di Kairo yang menyuarakan kebebasan-kebebasan – hingga dia berkata – dan para wanita sejak saat itu berani berpartisipasi dalam lembaga kehakiman negara dan diberbagai macam bidang sosial, maka dibuatlah lembaga-lembaga pusat wanita dan utusan (pendelegasian), mereka berperan aktif dalam mengoperasikan pergerakan embargo ekonomi pada tahun 1922 M, Shafia Zaghlul Haram adalah tokoh revolusi pertama dan Karimah Mushthafa Fahmi Basya adalah tokoh pergerakan pertama kali, yang melakukan perubahan yang mendasar hingga naik sampai pada kedudukan yang tidak dibayangkan oleh Qasim Amiin yang dapat dicapai dalam waktu yang sangat singkat dan semudah ini. lalu melupakan (melalaikan) pandangan orang-orang yang yang menentang yang menjaga diri mereka dari langkah-langkah yang berani ini yang didukung dengan adanya suasana pergolakan sebagai variasi kecerdikan yang dapat menjaga diri dari serangan). (Al Ittijaahaat Al Wathaniyyah II/248-251, cet. Muassasah Ar Risaalah 1982 M).Hal ini dikatakan bahwa sesungguhnya Syaikh Muhammad Abduh Adalah yang mengarang kitab (Tahriirul Mar-ah), dia menggunakan beberapa nash-nash syar’iy seperti dalil dalil yang digunakan oleh Al Albaani, Namun Muhammad Abduh tidak berani meletakkan namanya di dalam kitabnya dan menyandarkannya kepada Qasim Amin, lihat catatan kaki hal. 301 dalam jilid I dari kitab (Al Ittijaahaat Al Wathaaniyyah) DR. Muhammad Muhammad Husain dalam cetakan yang sama.Dengan ini anda ketahui bahwa wanita-wanita kaum muslimin tidak hanya menutup wajah-wajah mereka hingga zamannya Abu Haamid Al Ghazaali saja bahkan hingga awal-awal abad ke 14 hijriyah (yaitu awal abad ke 20 H) inilah amalan yang berlaku yang dilakukan oleh kaum muslimin sejak zaman Sahabat sampai masa selanjutnya, sampai Syaikh Al Albaani keluar kepada kita dengan membawa seruan tidak adanya kewajiban bagi seorang wanita untuk menutup wajahnya yang dia mengira bahwa ada dalil-dalil syar’iy yang menguatkan seruannya, hal ini hanyalah menyebabkan manhajnya cacat di dalam mengambil kesimpulan hadits sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya.Sesungguhnya urusan cadar adalah lebih besar daripada hanya sekedar menutup wajah bagi seorang wanita, sesungguhnya hal itu adalah urusan akhlak seluruh ummat dengan mencegah hal-hal yangmenyebabkan kerusakan dan mengikuti hawa nafsu, sebagaimana

Perkataan seorang penyair :
Sumbernya semua kejelekan adalah dari pandangan
Dan besarnya api neraka adalah dari menganggap remeh sebuah kejahatan.

Sesungguhnya wanita itu semuanya aurat dan apabila dia keluar maka setan meningkatkan godaannya dengan menghiasi pandangan supaya melihat kepadanya, lalu bagaimana dengan wajah yang itu adalah merupakan kumpulan segala kebaikan (kecantikan), dan jika seorang wanita menutup wajah walaupun dia tidak memiliki agama dan syareat itu adalah merupakan kebaikan menurut pandangan orang-orang yang berakal, sebagaimana perkataan Ibnu Hajar Rhm (Dan sudah diketahui gahwa orang yang berakal akan bersikap keras kepada orang-orang asing yang melihat wajah istrinya dan anak perempuannya) (Fat-hul Baari XII/245), beginilah dan Alloh memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki. (Tambahan) Bahwa seharusnya hijab menjadi akhlak ummat dan peraturan negara. Hijab dengan maknanya yang luas sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya --- yaitu menutup seluruh anggota badan wanita dan membatasi diri mereka dari percampuran (pergaulan) dengan laki-laki asing dan menutup diri mereka di rumah-rumah --- hal itu di dalam islam adalah sebagai akhlak ummat dan peraturan negara. Untuk ummat; Hendaknya setiap individunya menegakkan kewajiban-kewajibannya di dalam perkara ini, baik wanita itu sendiri maupun laki-laki yang memiliki kewajiban untuk menjaga dirinya dari wanita dan mengharuskan mereka untuk memakai hijab serta tidak bercampur (bergaul) dengan orang asing di dalam rumah maupun diluar rumah, mereka tidak keluar rumah tanpa ada kebutuhan yang mendesak, dan hendaknya setiap orang menutupi rumahnya sampai tidak dapat dilihat oleh seseorang dari luarnya, serta tidak sampai memperlihatkan auratnya kepada orang lain. Sedangkan untuk negara; Hendaknya diharuskan kepada para petugas Amar ma’ruf dan nahi munkar mengancam para wanita yang berhias diri dan para wali-walinya yang laki-laki, dan mengasingkan orang-orang yang berhak untuk diasingkan disebabkan oleh hal itu, semuanya sesuai dengan posisinya, ini adalah termasuk kewajiban sebagaimana yang telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim Al Jauziyah di dalam kitabnya (At Thuruq Al Hukmiyah Fis Siyaasah Asy Syar’iyyah) hal. 280-281. Dan Rasululloh Saw telah mencegah penyebab kepada percampuran antara laki-laki dengan perempuan ini hingga Rasululloh sangat mengajurkan para wanita untuk shalat dirumahnya sehingga mereka tidak hadir dalam shalat jama’ah di masjid-masjid karena hal itu dimungkinkan terjadinya ikhtilath (percampuran), dan Rasululloh Saw juga mencela Shaf terakhir bagi laki-laki dan shaf awal bagi perempuan dalam shalat dikarenakan kedekatan keduanya, juga Rasululloh mengakhirkan keluar dari masjid bagi laki-laki sehingga para wanita sudah keluar dahulu, dan menyuruh wanita supaya tidak berjalan ditengah-tengah jalan akan tetapi membiarkannya bagi laki-laki dan mereka berjalan di tepinya. Semua ini sebagai pencegahan terjadinya ikhtilath (percampuran) antara laki-laki dengan perempuan, untuk itu Rasululloh Saw melarang adanya khalwat (berduaan) bersama seorang perempuan tanpa ada mahramnya, juga melarang mereka untuk bersafar tanpa bersama mahramnya, dan hadits-hadits dalam hal ini semuanya adalah shahih. Sebagaimana juga seharusnya negara melarang adanya ikhtilath ditempat-tempat umum, seperti di ma’had (pondok pesantren), kantor-kantor kerja, sarana-sarana transportasi dan yang lainnya, dan para petugas hendaknya menugaskan para pekerja dalam hal itu. Begitu juga seharusnya negara melarang laki-laki bekerja secara langsung pada hal-hal yang menuntut untuk dibukanya aurat wanita tanpa adanya kebutuhan yang mendesak, seperti al kawaafiir (usaha pengeringan rambut bagi wanita), usaha penjahitan pakaian bagi wanita dan usaha-usaha lainnya yang memungkinkan bersentuhan langsung antara wanita dengan wanita lainnya. Sedangkan dari segi menutup rumah, hendaknya negara mengharuskan bagi semua orang untuk mengikuti peraturan-praturan tentang pembangunan tempat tinggal yang seseorang tidak bisa melihat aurat orang lain, dan dari sisi syar’iy sesungguhnya adanya pembatas (penutup) adalah wajib bagi para pekerja pembangunan gedung yang lebih tinggi supaya tidak melihat kepada yang lebih rendah, apabila tingginya sama maka harus ada penutup diatas keduanya, dan para petugas mewajibkan bagi mereka untuk hal itu. Lihat (Al Mughni Ma’asy Syarhil Kabiir V/52). Dan untuk menjaga kaum muslimin supaya menutup rumah-rumahnya dan apa yang ada di dalamnya disepanjang masa akan keistimewaan kerajaan-kerajaan islam dengan keistimewaan-keistimewaan yang nampak yang dapat membedakan dari model-model bangunan Eropa yang memerangi negeri kaum muslimin diwaktu yang akan datang. Mungkin dapat disimpulkan perbedaan antara keduanya dalam satu kalimat yaitu bahwa rumah yang islami terbuka bagi orang-orang dalam dan rumah gaya Eropa terbuka bagi orang luar, karena rumah yang islami memiliki halaman yang terbuka di dalamnya yang dapat membuka pintu-pintu kamar dan jendela-jendelanya dan tidak ada jendela yang arahnya keluar rumah kecuali sedikit, kalaupun ada kebanyakan terdapat di bagian atas dekat dengan atap untuk tujuan penyinaran matahari dan sirkulasi angin bukan tujuannya untuk melihat apa yang ada di luar, dengan begitu orang-orang yang berada di dalam tidak dapat melihat keluar begitu juga sebaliknya, sedangkan rumah gaya Eropa adalah contoh model yang tersebar luas di kebanyakan negara-negara pada hari ini, karena terbuka untuk orang luar dengan arti kata bahwa seluruh teras (beranda) dan jendela-jendelanya terlihat oleh orang-orang luar rumah tetangganya dan yang berhadapan dengannya sehingga mereka dapat melihat satu sama lainnya tanpa ada rasa malu dan cemburu. Maka jika mengikuti model bangunan islam akan terwujud penutupan secara syar’iy bagi rumah apalagi ‘Umar bin Al Khoth-thoob melarang orang yang masih bujang untuk tinggal bersama orang yang sudah berkeluarga sebagai tambahan untuk berhati-hati dan mencegah keragu-raguan. Dengan ini dan yang semisalnya hijab menjadi yang menyeluruh bagi akhlak ummat dan peraturan negara. Kita berdoa semoga Alloh memuliakan kaum muslimin dengan negara islam yang menjaga agama dan kehormatan mereka sesungguhnya Alloh maha menguasai atas segala sesuatu. Inilah akhir apa yang saya sampaikan dalam pembahasan Ahkaamul hijaab Wan Nadhr Wal Isti’dzaan (Hukum-Hukum Hijab, Pandangan Dan Perizinan). Dan Alloh permberi petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki kepada jalan yang lurus.

Diterjemahkan oleh : Muhammad Ar Rahiil. 9 agustus 2005 M
Read more »

 
Free Joomla TemplatesFree Blogger TemplatesFree Website TemplatesFreethemes4all.comFree CSS TemplatesFree Wordpress ThemesFree Wordpress Themes TemplatesFree CSS Templates dreamweaverSEO Design